Workhsop Indigenous Psychology #2 - Jogja Omah Petruk
Indigenous Psychology : "Saatnya Menentukan Mainstream Kelimuan dari Tanah Air"
Indigenous Psychology : "Saatnya Menentukan Mainstream Kelimuan dari Tanah Air"
Oleh Kwartarini Wahyu Yuniarti, MMEdSc., Ph.D
Setelah waktu istirahat kami berakhir, giliran Prof Kwartarini yang kerap disapa Bu' Bo menyapa kami di hall workshop. Hemat saya beliau ialah pribadi yang humoris dan mudah untuk membangun relasi dengan orang lain karena sikapnya yang murah senyum dan juga apa adanya inilah yang membuat 2 jam materi terasa menjadi bukan materi justru lebih seperti kami mengobrol santai dengan sendiri. Cukup miris ketika Bu' Bo menyampaikan bawa usia jurnal dan artikel yang bagus di Indonesia ialah minimal dua tahun, sementara tingkat produktivitas para akademisi Indonesia dalam bidang kepenulisan artikel Psikologi ialah masih cukup rendah. Setidaknya suntikan virus untuk menulis dilayangkan pada kami para mahasiswa yang masih berusaha menemukenali bagaimana Psikologi Indigenous itu sebenarnya Bu' Bo menyatakan "Please do your writing now and do not hesitate with feedback or critical". Intinya bu' Bo menegaskan pada kami untuk mengerjakan apa yang mampu kami kerjakan dan jangan takut pada kritikan yang ada, karena justru feed back itulah yang amat kami butuhkan. Memang tidak banyak orang yang berani menulis karena takut dikatakan jelek tulisannya, merasa belum percaya diri karena orang-orang lebih baik dan sebagainya. Satu lagi yang saya suka dari Bu' Bo dia bilang "Puting all your effort to write. Give the best version of your paper". Setiap orang punya stadar masing-masing yang akan berkembang secara baik bila terus diasah. Selama kita memberikan semua daya kita untuk menulis artikel atau jurnal tentunya akan tercipta suatu karya yang luar biasa karena dikerjakan secara sungguh-sungguh yakni dengan hati.
Mengenai konsep psikologi indigenous sendiri Bu' Bo menyatakan dalam slidenya bahwa "pendekatan psikologi harus mampu merefleksikan skemata konteks kultural populasi". Jadi kita harus mampu melihat secara jeli apa yang sedang terjadi dalam konteks yang kita teliti. Nah, bila kita sendiir saja bahkan tidak mampu mengenali potensi diri sendiri bagaimana kita bisa mampu memahami dan merefleksikan banyak orang, banyak kelompok dalam suatu konteks kulturasi populasi so, kenali diri sendiri dan kenali Indonesia serta kebudayaannya.
Indigenous dikenal dengan istilah sebagai berikut yakni, kepribumian, local wisdom, native people dan ethnicity. Dimana psikologi Indigenous nyatanya hadir untuk menggugah suatu kesadaran bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara barat dan timur. Dimana segala jenis teori psikollogi barat belum tentu dapat diaplikasikan secara baik pada orang Indonesia karena kita memiliki budaya yang berbeda dengan mereka. Contohnya, tentang penanganan pada masyarakat yang mengalami bencana. Di Indonesia beegitu kental dengan keberagaman suku dan agama. Tentunya berbeda pendekatan dan penanganan terhadap terjadinya bencana pada masyarakat suku Jawa dengan suku Bugis. Jadi untuk satu objek atau peristiwa yang sama akan selalu ada respon yang beragam (proses omisi dan deviasi). Oleh karenanya psikologi Indigenous berperan besar dalam memahami bagaimana harus bersikap dan bertindak terhadap suatu kejadian dalam konteks populasi. Menjadi penting dan menarik karena masyarakat kita yang amat bervariasi.
Dalam menerapkan pendekatan psikologi Indogenous, maka langkah yang diperlukan ialah studi mendalam pada poulasi, kemudian melakukan analisi data dan penulis mencoba merefleksikan hasil analisa datanya dalam bentuk tulisan terakhir akan dimintai pendapat oleh para expert atau outsider (yang bukan bagian dari kelompk). Perspektif kita terhadap suatu kejadian ialah merupakan skema dari berpikir yang kita bentuk berdasarkan pengetahuan sebelumnya, Bila kita tidak memahami situasi dan konsep budaya dari suatu komunitas/suku di Indonesia tentu akan sangat tidak adail bila dibuat suatu keputusan dan peraturan yang disamakan dengan di daerah lainnya. Ingat "Policy and Regulation its not always fit with everyone".
Prof Kwartarini alias Bu' Bo lagi-lagi berhasil menohok kami dengan candaannya yang serius yang menyatakan bahwa Indonesia kaya tapi ia miskin. Bagaimana data tentang Ketahanan Nasional yang terdiri dari beberapa indikator kembali membuat kami menjadi semakin miris dengan keadaan masyarakat Indonesia. Dimana pada aspek sosial dan budaya sudah pada angka waspada. Masyarakat kita dan tentunya kita sendiri sudah terpengaruh pada budaya asing sehingga tidak mampu mengenali dirinya sendiri. Jadi, apa sih sumbangsi yang bisa kita lakukan untuk individu dan masyarakat kita kelak? Nah Psikologi Indigenous menjadi jawaban dari itu bila kita mampu mengaplikasikannya dalam penelitian dan kehidupan. Kekayaan kultural dari Indonesia amat melimpah ruah. Bila kita mampu merefleksikannya dalam bentuk penelitian di paper dan artikel maka bukan tidak mungkin kita akan mampu untuk mewujudkan "Indonesia Filming The Mainstream of The Globe". Kita tidak akan dijajah di tanah kita sendiri. Kita akan memahami diri kita dan bergerak untuk maju dengan cara kita sendiri.
Sebagai mahasiswa yang masih meraba-raba tentang bagaimana meneliti yang baik saya lagi-lagi merasa tersentil. Sudah berapa publikasi jurnal yang saya hasilkan untuk pengetahuan Piskologi Indonesia di mata dunia? ckckck sebuah pertanyaan yang tidak harus dijawab namun harus dibuktikan dengan karya.
Sebagai mahasiswa yang masih meraba-raba tentang bagaimana meneliti yang baik saya lagi-lagi merasa tersentil. Sudah berapa publikasi jurnal yang saya hasilkan untuk pengetahuan Piskologi Indonesia di mata dunia? ckckck sebuah pertanyaan yang tidak harus dijawab namun harus dibuktikan dengan karya.
Kedalaman ilmu memang perlu ditingkatkan melalui publikasi ilmiah. Selain kemampuan bahasa inggris dan networking, social skill juga amat perlu sehingga publikasi ilmiah bisa lahir secara produktif dan menciptakan masitrem yang kita harapkan.
Begitulah ilmu yang saya dapatkan dari Prof Kwartarini dan tentu banyak sekali pertanyaan-pertanyaan luar biasa dalam dialog tanya jawab yang kembali menambah wawasan saya.
Setelah materi ini selesai, kami pun diberikan waktu 1,5 jam untuk istirahat shalat dan makan kemudian setelah maghrib kembali menuju padepokan untuk berdiskusi.
Setelah mandi sore dan shalat serta perus sudah terisi kami pun menyiapkan bahan diskusi untuk esok hari yakni ide tentang artikel jurnal yang ingin kami diskusikan dengan pembicara ketiga yakni Pak Hakim salah satu dosen dari Universitas Negeri Sebelas Maret yang mendapatkan beasiswa S3 di Universitas Massey, NZ hebat kan pemateri-pemateri kami hehe.
Malamnya sebelum tidur dan selepas makan malam Jhan menyapa kami kembali lewat diskusi tentang "How to Publishing Indigenous Psychological Article". Lewat diskusi ini dibahas tentang bagaimana cara mempromosikan publikasi kita dan langkah-langkah efektif dalam meneliti indigenous diantaranya:
1. Sharing idea together
2. Develop research proposal
3. Start your research project
4. Publish
Kemudian Jhan juga memberikan penjelasan tentang budaya meneliti di negaranya yang luar biasa produktif. Dimana para siswa langsung terjun ke lapangan untuk menggali data sedari awal perkuliahan. Terdapat juga summer course di NZ yang terbuka untuk mahasiswa asaing yakni Desember hingga Februari selama 8 minggu belajar tentang budaya di NZ. Kegiatan pelatihan hari pertama ditutup dengan diskusi yang mengenyangkan kami pun kembali ke kamar masing-masing untuk bersitirahat mempersiapkan diri untuk workshop besok.
Komentar
Posting Komentar